Ada sesuatu yang hampir ironis dalam menjadwalkan ujian sekolah di bulan Ramadhan. Sebuah ujian dalam ujian terdapat kombinasi antara kebutuhan akademik dan spiritual, antara kecerdasan kognitif dan ketahanan fisik. Seakan-akan sistem pendidikan ingin menantang siswa bukan hanya dengan soal matematika dan sejarah, tetapi juga dengan lapar, haus, dan kantuk yang menjadi bagian dari ibadah puasa.
Pukul 07.00 pagi. Gerbang sekolah masih terasa lengang, udara dingin bercampur dengan samar-samar suara anak-anak yang baru datang. Biasanya, jam segini kantin sudah penuh dengan siswa yang membeli gorengan dan varian es apa saja, tetapi kali ini kantin hanya dihuni oleh peralatan berjualan yang tampak diam. Sementara di depan kelas, anak-anak duduk berpencar, beberapa terlihat menguap, dan ada yang sibuk membuka lembar catatan terakhir sebelum ujian dimulai. Tidak ada aroma jajanan atau permen karet untuk membantu mereka tetap terjaga, hanya tekad dan sisa energi dari sahur yang mungkin sudah mulai luntur.
Sebenarnya, siapa yang memutuskan bahwa ujian harus bertepatan dengan bulan Ramadhan? Apakah ini bentuk ketahanan nasional dalam bentuk lain? Sebuah gladi resik menghadapi kerasnya kehidupan? Atau sekadar kebetulan sistem akademik yang malas menyesuaikan diri dengan kalender Hijriah? Yang jelas, siswa dihadapkan pada dilema, antara tetap belajar keras atau menghemat tenaga untuk bertahan hingga adzan Maghrib.
Bagi banyak siswa, tantangan terbesar bukanlah soal ujian itu sendiri, melainkan bagaimana tetap fokus ketika perut kosong berkonspirasi dengan rasa kantuk. Ada sesuatu yang sangat filosofis dalam hal ini, ibarat sebuah metafor tentang kehidupan. Belajar di bawah tekanan, tetap berkonsentrasi meskipun keadaan tidak mendukung. Apakah ini pelajaran tersembunyi dari pendidikan kita? Bahwa kehidupan tidak selalu memberi kemudahan, dan kita harus tetap berpikir jernih di tengah keterbatasan?
Di sisi lain, ada suara-suara sumbang dari para guru dan orang tua yang berpikir bahwa ini adalah kesempatan bagi siswa untuk melatih kedisiplinan dan pengendalian diri. "Jika mereka bisa menghafal rumus IPA sambil menahan lapar, mereka akan siap menghadapi dunia," kata seorang guru IPA dengan yakin, sambil menyusun lembar soal di mejanya. Tentu saja, kenyataannya lebih rumit dari sekadar teori. Ujian di bulan Ramadhan tidak hanya menjadi ajang latihan spiritual, tetapi juga uji coba bagi sistem pendidikan kita yang sering kali gagal memahami kondisi psikologis siswa.
Lalu, ada faktor lain yang jarang diperhitungkan, yakni bagaimana kondisi fisik memengaruhi performa akademik. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa dehidrasi dan kadar gula darah rendah dapat menurunkan daya ingat dan kemampuan kognitif. Dengan kata lain, menaruh ujian sekolah di bulan Ramadhan bisa jadi adalah keputusan yang kontraproduktif. Bukannya mengasah ketajaman berpikir, justru bisa membuat siswa lebih rentan terhadap stres dan kelelahan.
Namun, di balik segala tantangan ini, ada juga kebanggaan tersendiri. Mereka yang berhasil melewati ujian dalam kondisi berpuasa sering kali merasakan kepuasan yang berbeda. Seperti seorang pelari maraton yang melewati garis finis dengan nafas tersengal-sengal, ada sensasi kemenangan yang tidak bisa diukur hanya dengan angka di rapor.
Tapi pertanyaannya, apakah memang harus begini? Haruskah kita terus menerus menguji batas ketahanan siswa dengan mengatur jadwal ujian di tengah ibadah yang menuntut mereka menahan diri secara fisik dan emosional? Ataukah sistem pendidikan kita perlu sedikit lebih fleksibel, menyesuaikan jadwal agar siswa bisa menjalani keduanya tanpa harus mengorbankan salah satu?
Yang jelas bagi siswa, hal ini bukan sekadar tentang lulus atau gagal. Ini adalah ujian ketahanan, ujian kesabaran, ujian kejujuran, dan mungkin ujian bagi sistem pendidikan kita sendiri. Dan seperti biasa, bel akan berbunyi, lembar soal akan dibagikan, dan mereka akan menghadapinya dengan tangan yang sedikit gemetar, kepala yang sedikit berat, tapi hati yang dipaksa berjuang sampai bel pulang beresonansi dengan hela napas lega.