Antara Cermin Retak dan Jalan Setapak yang Tenang

Riyo Arie Pratama
0
Kita hidup di zaman yang sibuk mengagung-agungkan kecepatan. Sekolah tak terkecuali, semua dikejar. Kurikulum harus selesai, nilai harus naik, dan anak-anak harus “siap menghadapi masa depan”, kalimat yang terdengar agung, tapi sering kali hampa. Di tengah hiruk-pikuk yang demikian itu, satu hal sering terabaikan adalah berhenti sejenak dan bertanya, "Kenapa kita melakukan ini semua?" Itulah titik mula dari budaya refleksi. Tapi mari saya tekankan sejak awal, refleksi bukan sekadar duduk diam sambil menatap jendela, atau menuliskan kata-kata puitis di akhir semester. Itu puisi, bukan refleksi. Budaya refleksi bukan pula istilah mengawang yang hanya manis dalam dokumen akreditasi. Refleksi, jika benar-benar dijalankan, adalah kerja keras, menyakitkan, sekaligus membebaskan. 


Bayangkan sebuah ruang guru. Papan tulis putih di dinding, kalender akademik menempel penuh coretan, dan termos kopi yang entah sudah berapa kali dipakai. Dalam ruang ini, biasanya berlangsung diskusi tentang jadwal piket, tugas tambahan, atau rapat komite. Tapi bagaimana jika dalam ruang yang sama, satu jam dalam seminggu, diadakan Forum Refleksi Mingguan? Misalnya setiap Jumat, setelah bel pulang, guru-guru berkumpul dan berbagi satu pengalaman mengajar yang gagal. Ya, gagal. Bukan yang sukses. Seseorang bercerita, "Kemarin saya marah ke siswa karena mereka ribut, tapi ternyata saya sendiri yang datang tanpa persiapan." Guru lain menyahut, "Saya juga begitu minggu lalu. Saya pakai metode debat, tapi malah jadi ajang ejek-ejekan."

Refleksi bukan zona nyaman. Ia harus menyenggol ego, membongkar arogansi profesional yang sering terbungkus rapi dalam gelar “guru senior”. Tapi pada saat yang sama, ia juga seperti kisah Murakami, seorang sastrawan jepang, menghadirkan ruang batin yang tenang, personal, dan tidak menghakimi. Membangun budaya refleksi berarti membuka ruang bagi guru untuk menjadi manusia, bukan mesin pembelajar yang serba tahu. Budaya refleksi tidak hanya milik guru. Murid pun harus diajak menempuh jalan ini, dengan cara yang kontekstual. Di sebuah SMP negeri di pinggiran Lampung, seorang guru IPA mencoba hal sederhana di akhir pelajaran. Ia meminta murid menulis dua kalimat. Satu, “Apa yang saya pahami hari ini?” Dua, “Apa yang membuat saya bingung?” Kertas-kertas itu dikumpulkan tanpa nama.

Hasilnya? Ia menemukan bahwa sebagian besar muridnya mengerti tentang fotosintesis, tapi bingung mengapa tumbuhan tetap hidup di malam hari. Dari situlah, guru itu merancang ulang cara mengajarnya. Bukan berdasarkan RPP yang kaku, tapi dari perasaan dan pemikiran nyata murid-muridnya. Refleksi murid tidak harus selalu tertulis. Dalam kelas lain, guru Bahasa Indonesia memberikan waktu 5 menit sebelum pulang untuk diskusi reflektif. “Pelajaran hari ini, menurut kalian, sesuai tidak dengan hidup kalian?” Seorang murid berkata, “Saya jadi tahu cara menulis surat permohonan. Mungkin nanti saya bisa bikin surat buat minta maaf ke teman.” Jawaban sederhana, tapi punya makna dalam. Refleksi memberi kesempatan bagi anak untuk menjembatani pelajaran dengan kehidupan. Ini bukan soal mencetak nilai 100, tapi membentuk manusia yang sadar bahwa belajar itu punya alasan, bukan sekadar kewajiban.

Kita mungkin perlu bicara sistem, dan memang sepertinya memang harus. Kepala sekolah punya peran penting dalam membangun budaya refleksi. Tapi ini bukan soal membuat program “bulan refleksi nasional” yang hanya formalitas. Yang dibutuhkan adalah keberanian menyisipkan waktu refleksi dalam struktur sekolah.

Contoh konkretnya, di satu SMA swasta di Bandung yang tidak perlu saya sebutkan nama sekolahnya, setiap akhir bulan ada Hari Renungan Sekolah. Hari itu, tidak ada ujian dan tidak ada tugas. Seluruh siswa dan guru diminta memilih satu dari tiga kegiatan:(1) menulis esai reflektif, (2) diskusi kelompok tentang pengalaman belajar, atau (3) mentoring dengan guru pembimbing. Hasilnya tidak dievaluasi untuk nilai, tapi menjadi bagian dari portofolio reflektif tahunan. Bagi siswa kelas XII, portofolio ini bahkan jadi dasar utama penyusunan surat rekomendasi masuk perguruan tinggi. Ini bukan utopia. Sekolah ini tetap berjalan normal, tetap menghasilkan lulusan dengan nilai tinggi. Tapi lebih dari itu, mereka menghasilkan lulusan yang tahu siapa dirinya dan ke mana akan melangkah.

Mari kita jujur. Banyak sekolah hari ini dikuasai oleh budaya “asal jalan”. Asal kurikulum selesai. Asal nilai tuntas. Asal rapor dibagi. Budaya refleksi mengganggu kelaziman ini. Ia mengajak setiap aktor pendidikan untuk bertanya: “Kenapa saya melakukan ini?” dan pahitnya, tidak semua siap dengan jawabannya. Identiknya, dalam kebenaran seringkali ada ketidaknyamanan. Membangun budaya refleksi di sekolah bukan proyek cepat saji. Ini kerja jangka panjang. Tapi ia dimulai dari hal-hal kecil seperti satu sesi diskusi jujur antar guru, satu pertanyaan reflektif di akhir pelajaran, satu hari dalam sebulan untuk merenung.

Refleksi tidak akan membuat sekolah Anda tiba-tiba masuk 10 besar nasional. Tapi ia akan membuat sekolah menjadi ruang yang lebih manusiawi. Tempat di mana guru bukan hanya pengajar, tapi pembelajar. Di mana siswa bukan hanya penjawab soal, tapi pencari makna. Tempat di mana cermin tidak sekadar memantulkan wajah, tapi memperlihatkan jiwa.

Dan bukankah itu pendidikan?

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

Tag Terpopuler