Menjelang Kembali ke Sekolah

Riyo Arie Pratama
0



Libur Idulfitri adalah ruang waktu yang nyaris mistis. Ia datang setelah perjuangan sebulan penuh menahan lapar, haus, dan segala godaan duniawi, dan diakhiri dengan pelukan keluarga, aroma opor ayam, dan secangkir teh manis yang tak lagi kita rahasiakan dari rasa lapar. Tapi kemudian, hari-hari bergulir. Kita mulai berhenti menghitung berapa lontong yang kita makan dan mulai menyadari dalam diam, tentu libur ini akan usai.

Saya duduk di beranda rumah, buku catatan terbuka di pangkuan, tapi pena tidak bergerak. Bukan karena tidak ada yang ingin saya tulis, tapi karena terlalu banyak yang ingin saya tulis. Dalam suasana seperti ini, otak saya menjadi seperti kantin sekolah saat istirahat, yang riuh, penuh percakapan, penuh aroma nostalgia, tapi sulit fokus.

Sebagai seorang guru, saya tahu apa yang menanti. Agenda sekolah yang menumpuk, rencana pembelajaran yang perlu diperbarui, laporan yang belum rampung, dan tentu saja, wajah-wajah para siswa yang, semoga masih ingat cara membaca peta konsep dan bukan hanya rank Mobile Legends. Tapi ada sesuatu yang lebih halus, lebih tak terdefinisi, yang mulai saya rasakan saat minggu terakhir libur ini menyempit, sebut saja rasa rindu.

Ya, rindu. Tapi bukan rindu akan pekerjaan dalam bentuk formalnya. Saya tidak merindukan administrasi. Saya tidak merindukan absen yang hilang atau LCD proyektor yang tiba-tiba ngambek. Yang saya rindukan adalah ritme, Struktur, dan Tujuan harian. Ada keindahan dalam rutinitas yang hanya bisa dirasakan setelah kita menjauh darinya.

Selama libur, waktu seperti cair. Kita bangun tanpa alarm, tidur tanpa perhitungan. Hari-hari terasa seperti satu garis horizontal tanpa jeda. Ini menyenangkan di awal, seperti melompat ke kolam renang setelah hari yang panas. Tapi setelah beberapa saat, airnya tidak lagi segar. Kita mulai mencari pinggiran kolam, ingin naik dan duduk, menjemur diri, dan bertanya, "Apa yang selanjutnya?"

Saya mulai menyiapkan seragam yang kemudian direbut pendamping hidup saya. Tanpa berkata yang tak perlu, saya melihatnya menyetrika dengan perlahan, seperti sedang menyiapkan kulit kedua saya. Saya menengok ke papan tulis kecil di kamar, mencatat tema besar pembelajaran yang akan datang. Sesekali saya menulis nama siswa secara acak. Bukan karena saya lupa, tapi karena saya ingin mengingat bagaimana mereka berbicara, tertawa, bahkan mengeluh.

Sejenak saya teringat selembar esai milik Zadie Smith, dalam esai tersebut ia menulis tentang "rasa pulang" yang tak selalu berarti kembali ke tempat, tetapi bisa juga kembali ke versi diri kita yang lebih utuh. Mungkin bagi saya, kembali ke sekolah bukan sekadar kembali bekerja, tapi kembali menjadi saya. Versi saya yang produktif, reflektif, sekaligus penuh strategi menghadapi kegaduhan remaja puber yang kadang juga gugup dan gagap.

Saya bertanya-tanya, bagaimana kabar siswa-siswi saya? Apakah mereka menghabiskan libur dengan membaca seperti yang saya anjurkan dalam candaan saya? Ataukah mereka larut dalam dunia TikTok, menari di depan kamera, mengedit video dengan caption yang lebih puitis dari puisi Chairil Anwar? Saya tidak tahu, dan justru di sanalah letak kenikmatannya. Ketidaktahuan ini akan segera digantikan oleh tawa, suara gaduh di kelas, dan cerita-cerita kecil yang membuat ruang kelas jadi hidup kembali.

Saya juga bertanya-tanya, bagaimana kabar sesama guru? Apakah mereka juga merasa campur aduk seperti saya? Ada semacam kesepakatan tak tertulis di kalangan pendidik, bahwa minggu terakhir libur adalah masa transisi batin yang tidak diakui secara resmi tapi sangat nyata. Kita mulai membersihkan tas kerja. Kita membuka kembali laptop yang sempat kita abaikan. Kita perlahan masuk ke mode "guru" seperti seorang aktor yang mulai membaca skrip setelah lama libur dari panggung.

Dalam keramaian dan keheningan minggu ini, saya sadar bahwa menjadi guru bukan sekadar pekerjaan. Ia adalah identitas. Ia adalah cara kita memandang dunia. Bahkan saat libur, saya tetap berpikir seperti guru. Saat menonton film, saya membayangkan bagaimana ini bisa jadi bahan diskusi kritis. Saat membaca berita, saya memikirkan cara menyederhanakannya untuk siswa. Saat mengantar berbelanja di pasar, saya mendengar percakapan ibu-ibu dan berpikir, “ini bisa jadi studi kasus untuk pembelajaran kontekstual.”

Dan ya, mungkin ini yang paling saya rindukan, yaitu menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri saya sendiri. Kelas bukan hanya ruang fisik. Ia adalah ekosistem emosi, pemikiran, pertumbuhan, dan terkadang juga kehebohan tanpa makna. Tapi dari kehebohan itu, lahirlah momen-momen kecil yang tak tergantikan. Seorang siswa yang akhirnya berani angkat tangan. Seorang siswi yang menulis puisi dan memberikannya diam-diam. Seorang murid yang berkata, "Saya akhirnya ngerti, Pak."

Minggu terakhir libur ini bukan akhir dari kebebasan. Ini adalah awal dari kemungkinan-kemungkinan baru. Di luar sana, siswa-siswi saya mungkin juga mulai merasakan hal yang sama. Mereka mungkin mulai memeriksa tas sekolah mereka, menulis di grup WA kelas, atau bahkan bermimpi tentang kelas IPA dan eksperimen menyenangkan yang akan mereka lakukan.

Jadi saya menutup buku catatan, dan untuk pertama kalinya selama libur ini, saya merasa siap. Bukan karena semua sudah sempurna. Tapi karena saya tahu, sekolah bukan tempat untuk kesempurnaan, tapi untuk proses. Dan saya siap kembali menjadi bagian dari proses itu.

Selamat kembali, wahai para guru. Kita bukan hanya kembali bekerja. Kita kembali hidup dalam peran yang paling bermakna.

























Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

Tag Terpopuler